Powered By Blogger

Minggu, 27 April 2008

Pilihan Terapi Penyakit Jantung Koroner

Nyeri dada akibat penyakit jantung koroner (PJK) dialami jutaan penduduk dunia. Di Amerika, dua belas juta orang didiagnosis PJK. Di Indonesia, walaupun belum ada data nasional prevalensi PJK, dampak serius penyakit ini telah terlihat. Penyakit kardiovaskular yang di dalamnya termasuk PJK menempati urutan pertama penyebab selurah kematian yaitu 16 persen pada survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1992 . Pada SKRT 1995 meningkat menjadi 18,9 persen. Hasil Suskernas 2001 malahan memperlihatkan angka 26,4 persen.
Sebagian besar PJK terjadi akibat penurunan suplai oksigen (iskemia) pada otot jantung lantaran penyempitan pembuluh koroner oleh pengerasan di dinding dalam pembuluh koroner yang disebut plak aterosklerosis. Plak berintikan lemak ini terlindungi oleh lapisan sel-sel otot polos.
Stabilitas plak aterosklerosis ditentukan oleh kuat tidaknya lapisan pelindung. Bila lapisan pelindung itu rapuh, maka plak itu mudah pecah manakala ada pemicu seperti latihan fisik yang berat, marah, stress atau bahkan hubungan intim. Plak yang pecah akan menstimulasi proses penggumpalan darah yang dapat lebih mempersempit liang pembuluh atau bahkan menyumbatnya. Sumbatan di liang pembuluh koroner bila berlangsung lebih dari 20 menit dapat mematikan otot-otot jantung yang berujung pada disfungsi pompa jantung atau hilangnya nyawa penderita. Hingga kini para ahli belum menemukan cara terbaik dalam mendeteksi plak yang rapuh. Diduga kuat faktor inflamasi berperan dalam proses perapuhan plak.

Pilihan Terapi
Pilihan terapi lebih didasarkan pada pertimbangan pencegahan risiko fatal PJK ketimbang sekedar menghilangkan keluhan nyeri dada. Paradigma baru dalam terapi obat-obatan penderita PJK adalah upaya stabilisasi plak dengan dosis tinggi HMG-co A reductase inhibitors atau yang lebih dikenal dengan nama statin. Efek antiperadangan obat penurun kolesterol ini diyakini memiliki kemampuan memperkuat lapisan pelindung plak dan bahkan dapat mereduksi penyempitan.
Namun pada sebagian penderita terutama yang berisiko tinggi, obat-obatan kerap kurang ideal. Para ahli kini lebih cenderung melakukan intervensi lebih dini. Ya, mirip sikap preemptive war ala Bush. Hal ini dimungkinkan karena intervensi nonbedah pada pembuluh koroner semakin aman dilakukan dan dengan outcome yang memuaskan.
Sejak Dr. Andreas Gruentzig pada 1977 mengumumkan pertama kali keberhasilan melakukan pelebaran pembuluh koroner tanpa bedah yang disebut PTCA (Percutaneous Coronary Angioplasty) atau dikenal dengan istilah balonisasi tindakan ini semakin kerap dilakukan.

PTCA hanya memerlukan sayatan kulit kecil di lengan atau pangkal paha untuk menyelipkan kateter pada arteri yang menuju ke muara koroner. Melalui kateter itu dimasukkan kateter lain yang mempunyai balon di ujungnya. Pada lokasi penyempitan, balon itu dikembangkan. Balon yang telah melebarkan koroner itu kemudian dikempiskan kembali dan ditarik keluar.
Namun saat itu hingga dekade berikutnya hanya segelintir penderita yang memenuhi syarat untuk dilakukan tindakan balonisasi. Hal ini lantaran teknologi yang masih sederhana sehingga kurang begitu aman, juga angka penyempitan ulang
(restenosis) pascabalonisasi dapat mencapai 40 persen. Karena itu para ahli masih memprioritaskan bedah sebagai alternatif terbaik.
Namun seiring dengan perbaikan bahan-bahan kateterisasi, struktur balon serta temuan obat-obat antipenggumpalan darah baru, maka kini tindakan ini menjadi jauh lebih aman. Angka penyempitan ulang menjadi menurun drastis setelah para ahli menyertakan pemasangan stent setelah dibalon. Stent yang berbentuk laksana cincin atau gorong-gorong ini dapat mempertahankan pelebaran yang dilakukan balon. Tahun-tahun terakhir ini dikenal jenis stent berlapis berbagai jenis obat yang mampu mereduksi angka penyempitan ulang hingga di bawah lima persen. Selain itu dikenal pula teknik pengerokan dan pengeboran sumbatan koroner yang mengeras termasuk penggunaan laser.
Walhasil, kini intervensi nonbedah dapat dilakukan pada berbagai kondisi PJK yang sebelumnya hanya mampu dikerjakan di meja operasi. Berbagai studi yang membandingkan secara langsung antara intervensi bedah dan nonbedah pada penderita PJK memperlihatkan hasil yang tidak berbeda bahkan pada kasus-kasus yang sulit sekalipun.
Yang masih menjadi ganjalan intervensi nonbedah adalah mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh penderita. Harga sebuah stent berlapis obat dengan ukuran beberapa milimeter itu ada yang di atas 30 juta rupiah.
Kenyataan tersebut meyakinkan kita bahwa pencegahan memang jauh lebih murah ketimbangan pengobatan. Sayangnya perubahan ke arah perilaku sehat seringkali baru mulai disadari saat penderita terbaring tak berdaya..

Tidak ada komentar: